Sistem Informasi Desa Adisara

shape
Shape Shape Shape Shape
Blog Blog

SI "EMAS AMIS" PINDANG TONGKOL BANDENG KHAS ADISARA

Jangan kaget ketika aroma asin sedikit amis menguat di sekitar jalanan Grumbul Pekucengan - Desa Adisara, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Di desa kami ini, lebih dari 50 rumah tangga secara turun-temurun memproses bandeng dan tongkol presto. Ikan bandeng dan tongkol didatangkan dari wilayah Cilacap maupun pantura untuk dimasak lalu dijual di seluruh pasar yang berada di wilayah Banyumas dan sekitarnya.

“Tiga hari sekali kami mengolah 6 kuintal tongkol dan 60-100 kilogram bandeng,” kata Abdul Rohman (42) salah satu pemilik industri rumah tangga presto bandeng dan tongkol di RT 03/RW 01 Desa Adisara, Banyumas. Di sisi samping rumahnya, bertumpuk ratusan ikan tuna beku. Embun es masih tampak menguap ketika salah satu karyawannya menimbang ikan-ikan tersebut ke dalam sekotak keranjang besar untuk bobot hingga 40 kilogram


”Tongkol ini berasal dari Cilacap dan besok pagi-pagi dijual ke Pasar Ajibarang, Kabupaten Banyumas,” kata Abdul yang sudah 22 tahun memproduksi tongkol dan bandeng presto. Di sisi belakang rumah Abdul tampak seorang pekerja yang sedang membersihkan tongkol. Kepala tongkol dipisahkan dari badannya. Demikian pula jeroan atau bagian dalam ikan ini dikeluarkan.


Untuk mengolah ikan-ikan tersebut, Abdul memerlukan sekitar 16 ikat kayu bakar. Pasalnya ikan tersebut harus direbus di panci presto hingga waktu enam jam. Salah satu tantangan yang dihadapi pengusaha presto ini, menurut Abdul, adalah kenaikan harga bahan baku ikan.

Selain Abdul, ada pula Sujiati (44) yang bersama Rohidi (39), suaminya, juga memproduksi bandeng dan tongkol presto. Pasangan suami istri ini per hari sedikitnya mengolah 20 kilogram bandeng dan 80 kilogram tongkol. ”Saya jual ikan ini ke Pasar Cilongok. Biasanya yang beli dari katering atau juga pedagang keliling,” tutur Sujiati yang sudah 15 tahun menggeluti usaha yang juga digeluti ibu mertuanya sejak 1993.

Untuk mempresto bandeng, misalnya, Sujiati menambahkan aneka bumbu dan rempah, antara lain daun salam, kamijara atau serai, garam beryodium, dan bumbu penyedap makanan.




Jika Sujiati sering bergumul di dapur, suaminya, Rohidi, lebih sering di luar rumah. Setelah kepala ikan tuna itu dipisahkan dari badannya, daging dan tulangnya dipisahkan. Kemudian, tulang beserta duri-durinya dijemur untuk dijual lagi sebagai bahan campuran pakan ikan. ”Tulang dan duri ini dijual Rp 3.000 sampai Rp 3.500 per kilogram. Nanti ada yang datang membeli ke sini. Tulang akan dioven dan digiling untuk jadi campuran pakan ikan,” tutur Rohidi.



Di rumah lain, ada pula Kuswanto (33). Sehari-hari, Kuswanto mengolah 40 kilogram tongkol dan 10 kilogram bandeng. Menurut Kuswanto, dirinya mengikuti jejak ibu dan juga neneknya yang sudah sejak tahun 1960-an membuat bandeng juga tongkol presto. ”Dulu awal mulanya, dari cerita mbah dan ibu saya, ikan yang diolah adalah ikan gapit atau ikan pari. Tapi, kemudian mungkin karena sudah jarang, jadi beralih ke bandeng dan tongkol,” ujarnya.




Uap beraroma asin dan amis yang terus menguat di sekitar Desa Adisara ini menandakan geliat sekaligus denyut ekonomi warga terus hidup. Per hari, omzet yang diperoleh oleh setiap rumah tangga bervariasi, ada yang Rp 350.000, Rp 500.000, atau juga Rp 5 juta bergantung pada kapasitas produksinya.

 

Sumber : Kompas
Foto       : WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO