Sistem Informasi Desa Adisara

CERITA RAKYAT DAN SEJARAH DESA

CERITA RAKYAT DESA ADISARA

Sekitar abad ke-18 Masehi, di jalur lintas penghubung yang sudah ada sejak keberadaan dua kerajaan besar — Majapahit di timur dan Pajajaran di barat — terdapat sebuah wilayah penyeberangan di tepi Sungai Tajum yang membelah beberapa wilayah di selatan Gunung Slamet . Tempat itu dikenal dengan nama Tambangan, karena orang-orang yang hendak menyeberang menggunakan perahu yang ditarik dengan tambang dari kedua tepi sungai. Arus perdagangan, utusan kerajaan, prajurit, hingga telik sandi sering melintas di sana, menjadikan kawasan tersebut pusat strategis bagi hubungan antar kerajaan besar di masa silam.

Eyang Among Tani dan Awal Lumbung Kerajaan

Ketika kemudian Kerajaan Mataram Islam berkuasa, wilayah ini menjadi bagian dari kebijakan kerajaan untuk memperkuat lumbung pangan. Raja Mataram menugaskan orang-orang pilihan untuk mengajarkan pertanian termasuk system pranata mangsa kepada rakyat Mataram. Salah satu tokoh yang diutus adalah Eyang Among Tani, seorang bijak yang menguasai ilmu pertanian dan kehidupan selaras dengan alam. Di bawah bimbingannya, lahan-lahan di selatan Kali Duren, dekat kawasan Karanglewas, mulai dibuka oleh para sesepuh desa. Daerah itu kemudian dijadikan area sawah kas desa, sawah bengkok  dan gudang pangan. Setelah panen, padi disimpan di lumbung besar di utara Kali Duren. Karena tempat itu menjadi sumber penyedia pangan kerajaan, orang-orang menamainya Grumbul Pekucengan, dari kata ancengan yang berarti persediaan. 

Ki Jombang dan Wilayah Perbatasan

Di perbatasan barat Karanglewas tinggal seorang Demang bernama Ki Jombang. Beliau ditugaskan mengatur keamanan dan tata kelola daerah sekitar. Wilayah tempat tinggalnya itu lambat laun dikenal dengan nama Grumbul Jombang, sebagai penghormatan terhadap sang demang.

Eyang Jati Kusuma dan Makna Terjung

Beberapa waktu kemudian, datang tokoh besar lain, seorang prajurit tangguh sekaligus pemimpin bijak — Eyang Jati Kusuma. Ia singgah cukup lama di Tambangan dalam perjalanan panjangnya. Dengan kesaktiannya, Eyang Jati Kusuma melatih prajurit Mataram dan para pemuda setempat ilmu perang dan strategi bertarung. Mereka berlatih ujungan — pertarungan satu lawan satu dengan rotan dan perisai, di daerah tepi Sungai Tajum bagian utara Grumbul Pekucengan. Dari kata ujungan itulah tempat latihan para prajurit itu disebut Terjung.

Eyang Jati Kusuma juga memimpin masyarakat membuka hutan jati di sepanjang jalan utama dekat sungai. Setelah dijadikan pemukiman, wilayah itu terasa begitu mirip dengan tanah kelahirannya di Mataram. Ia menamai daerah itu Gambar Jati, dari kata ginambar sejati atau "gambaran tempat sejatinya".

Adi Sara: Kemuliaan dari Keprihatinan

Perluasan wilayah dan pembukaan lahan di masa itu terus berjalan ke arah barat. Di sana tinggal seorang tokoh spiritual bernama Mbah Sepuh, ahli ngelmu tuwa dan falsafah kejawen. Ia sering berdiskusi dengan Eyang Among Tani dan Eyang Jati Kusuma mengenai keseimbangan antara laku batin dan pembangunan lahir.

Namun perjuangan membuka wilayah barat tidak mudah. Hutan di sana terkenal bermdan berat serta lebat lagi angker dan dihuni lelembut yang suka menganggu manusia. Tidak sedikit rakyat yang ketakutan, tapi para sesepuh memutuskan untuk tetap melanjutkan usaha ini dengan menjalankan tirakatlaku prihatin, serta doa yang tulus. Setelah perjuangan panjang, tanah itu akhirnya berhasil dibuka dan menjadi tempat pemukiman serta pertanian baru. Sebagai wujud rasa syukur, daerah itu dinamakan Adi Sara — dari kata Adi yang berarti kemuliaan dan Sara yang berarti kesengsaraan atau keprihatinan. Maka, Adisara bermakna “tempat mulia yang lahir dari keprihatinan para leluhur”.

Grumbul Bodong dan Jejak Sejarah

Seiring waktu, Sungai Tajum yang dahulu mengalir di kawasan Tambangan lambat laun bergeser ke utara. Bekas sungai itu meninggalkan daratan yang menonjol, dan penduduk menyebut wilayah itu Grumbul Bodong, dari kata bodong yang berarti menonjol atau tumbuh — simbol bahwa tanah yang dulu hanyut air kini menjadi daratan subur.

Wilayah Tambangan tetap menjadi jalur penting. Bahkan pada masa Perang Diponegoro, daerah ini menjadi titik transit pasukan. Dikisahkan Kyai Mojo, panglima sekaligus ulama terkenal, pernah singgah di Tambangan. Hingga kini, di pinggir jalan raya masih terdapat petilasan yang disebut Petilasan Eyang Maja, tanda bahwa tokoh besar itu pernah singgah di sana.

Adisara di Masa Penjajahan

Pasca Perang Diponegoro yang menguras kekayaan, Belanda menuntut ganti rugi besar kepada Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Karena tidak mampu membayar, wilayah Banyumas Raya digadaikan kepada Belanda. Maka tatanan pemerintahan desa pun berubah mengikuti aturan kolonial. Daerah-daerah Jombang, Pekucengan, Tambangan, Bodong, Gambar Jati, dan Adisara akhirnya disatukan menjadi satu wilayah pemerintahan desa dengan nama yang diambil dari nama gerumbul yaitu Desa Adisara,.

Namun masa penjajahan membawa penderitaan baru. Rakyat dipaksa menanam tanaman komoditas Belanda sesuai kebijakan Cultuurstelsel, sementara hasil panen diambil tanpa keadilan. Rakyat yang dahulu hidup dari kerja keras sendiri kini dipaksa tunduk pada kepentingan penjajah. Maka orang-orang mulai berkata, dengan nada getir, bahwa nama Adisara kini bermakna lain: ngudi-ngudi sengsara — berjuang terus tetapi tetap sengsara.

Demikianlah legenda tentang lahirnya Desa Adisara, sebuah tanah yang menyimpan kisah kemuliaan, perjuangan, dan ketabahan para leluhur dalam menghadapi zaman yang terus berubah.

Cerita rakyat ini diambil dari cerita para sesepuh desa yang belum tentu nilai kebenarannya. Namun ada bukti sejarah yang masih tertinggal yaitu keberadaan pasemuan/ padepokan para leluhur seperti Eyang Among Tani, Eyag Maja, Eyang Jati Kusuma, Mbah Sepuh dan Eyang Uger Sari yang sampai dengan saat ini masih Lestari.


=============================================================================


KEPALA DESA ADISARA DARI MASA KE MASA




SEJARAH DESA ADISARA




SEJARAH DESA DAN NEGARA




SEJARAH DAN ASAL USUL PEMERINTAH DESA




Tulis Komentar